Kecupanmu lah yang menenangkan kegalauan hatiku
Disaat keheningan seperti mata pisau, engkau datang bagaikan tameng terhebat yang kupunya
Mata batinku terus berujar, bahwa ketakutanku tiada tara
Tapi kuyakini bahwa itu tak pernah sebanding
Dengan jutaan hari yang dikorbankannya
Peluhnya adalah tawa
Tawa yang kita kembangkan, meski itu dalam sunyi tersenyap pun
Dan dialah yang menjadi obat penenang
Penenang sifat liarku
Saya sebut perempuan itu IBU
Yang telah mendidikku
Dari ketidakmampuan menjadi kehidupan
Yang bermakna, jauh lebih indah dari berton-ton permata
Saya menyayanginya, jauh dari apa yang pernah saya katakan
Karena mulut hanya sarana kecilku
Saya tak pernah memberi beliau sepotong emas kecil
Atau segenggam mutiara
Saya hanya menjanjikan kehormatan, kehormatan dan kebanggaan terbesar
Ya itulah janji saya, janji pada IBU, atau AYAH, atau Saudara saya
Dan maafkan saya jika saya tidak mampu sekarang
Karena ketidakmampuan, adalah cambuk
Cambuk terkuat penggugah semangat
Untuk janji itu, IBU
-putramu, Arjanggi Nuswantoro-
Disaat keheningan seperti mata pisau, engkau datang bagaikan tameng terhebat yang kupunya
Mata batinku terus berujar, bahwa ketakutanku tiada tara
Tapi kuyakini bahwa itu tak pernah sebanding
Dengan jutaan hari yang dikorbankannya
Peluhnya adalah tawa
Tawa yang kita kembangkan, meski itu dalam sunyi tersenyap pun
Dan dialah yang menjadi obat penenang
Penenang sifat liarku
Saya sebut perempuan itu IBU
Yang telah mendidikku
Dari ketidakmampuan menjadi kehidupan
Yang bermakna, jauh lebih indah dari berton-ton permata
Saya menyayanginya, jauh dari apa yang pernah saya katakan
Karena mulut hanya sarana kecilku
Saya tak pernah memberi beliau sepotong emas kecil
Atau segenggam mutiara
Saya hanya menjanjikan kehormatan, kehormatan dan kebanggaan terbesar
Ya itulah janji saya, janji pada IBU, atau AYAH, atau Saudara saya
Dan maafkan saya jika saya tidak mampu sekarang
Karena ketidakmampuan, adalah cambuk
Cambuk terkuat penggugah semangat
Untuk janji itu, IBU
-putramu, Arjanggi Nuswantoro-