Saya harap saya bisa tidur lebih cepat malam ini. Saya ingin segera terlelap dan menjemput mimpi. Mimpi yang kuakui sangat indah di waktu yang terus dan terus kunanti.
Ingin segera saya memejamkan mata, disaat gelap malam bersedia menyertai kesepian saya, disaat nyanyian burung malam jadi selimut kesedihan saya.
Kenyataannya, saya hanya bisa menatapmu dari kejauhan, dan mengembangkan senyum sembari tetap mendoakan keadaanmu saat itu, saat engkau baik-baik saja menurutku.
Kebenarannya, hanya kata-kata yang terangkai dalam kalimat pendek yang kupercaya sebagai penghubungku terhadapmu, meski efektif adalah kata yang jauh dari arti sebenarnya itu.
Masih kupercaya sifat keberuntunganku, yang kuyakini dapat mempengaruhi batiniahmu terhadap pandanganmu kala itu, disaat duduk bersamaku.
Dan yakinilah keadaanku saat ini adalah menyayangimu, karena keraguanku adalah titik kecil yang terhapus oleh percayamu kepadaku.
Meski saat diam ini adalah membosankanmu, aku tak akan diam saat air mata berlinang membasahi pipi lugu milikmu.
Meski tawaku tak terpancar karenamu, namun saat itu adalah saat dimana aku ingin tertawa bersamamu melewati hari-hariku.
Tetes demi tetes keringatku membasahi lantai perjuanganku, dan sesekali perhatikanlah lirikan mataku terhadapmu.
Dan tersenyumlah, sesekali berikan jempol tanganmu untukku, agar semakin terbakar relung niatanku.
Percayalah meski aku gugup didepanmu, meski aku tak menyapamu, meski aku terlihat sangat dan sangat mengacuhkan dirimu saat itu.
Karena itu adalah caraku untuk menunggu saat yang tepat untuk mengutarakan sebab-sebab tingkah polahku.
Karena aku akan bicara tak tentu saat berada di depanmu, saat aku belum memiliki separuh hati kosongmu itu.
Bukan kupuja, namun engkaulah angin sejuk yang menerbangkan layangan kesombonganku, setinggi mata rabunku yang tak mampu membedakan bedamu dengan wanita lainku.
Tapi engkau berbeda, dan sangat berbeda setelah kupikir selama berpuluh-puluh jam batinku. Karena engkau dewasa yang kupilih saat ditanya oleh tangan kananku.
Semakin lama aku, semakin pergi usiaku, yang tak akan terhitung dalam kalkulator merek apapun.
Botol-botol nafasku kian terpecah, sembari menangis dengan perginya kepercayaanku terhadap
kesehatanku.
Aku tak akan tahu kapan matiku, kapan dewasaku, dan kapan hentakan kakiku berhenti di dunia baru.
Namun yang selama ini kutahu, hati ini telah memilihmu, dan berusaha bersinkronisasi dengan lagu kehidupanmu.
Perbedaan sifatku dan sifatmu, merupakan kekayaan yang melebihi konglomerat, yang tertanam jauh sebelum kita hirup udara Tuhan.
Sudahilah sikap diammu yang menyamaiku, karena tak layak diam menjadi aksesori milik kita. Diam yang tak berikan jawaban, sehuruf pun itu.
Dan sentuhlah ujung dari pundakku, atau genggam, atau hentikan jemarimu di genggamanku. Berikan senyuman pasti yang menjadi jawaban, bukan menjadi pertanyaan yang terus terbayang.
Dan jangan pernah lihat secara total perlakuanku kepadamu, karena itu hanyalah kulit tepi dari sifat yang sebenarnya milikku.
Dan saya menyayangimu, jauh sebelum aku mengetahui siapa namamu. Dan aku menyayangimu, hingga tak akan terucap dari mulutku bahwa saya benar-benar menyayangimu.
(18 Mei 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar