Umurnya sudah tua, mungkin setua kakek saya yang sudah meninggal, atau mungkin lebih tua lagi. Beliau tidak tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi adik saya daripada beliau. Badannya kecil, tapi yang saya herankan adalah otot besarnya, yang menonjol diantara tubuhnya yang kurus kecil itu.
Seringkali saya melihatnya terbatuk-batuk, sambil memegang sapu, mondar-mandir kesana dan kemari membersihkan beranda depan sebuah rumah yang cukup besar menurut saya, entah itu rumahnya sendiri atau bukan, itu tidak pernah saya pedulikan.
Kapan hari saya pernah menemukan, maaf, melihatnya sedang “asyik” mengambil air yang menggenang di jalan, dan ia siramkan ke pot bunga disampingnya. That’s great man! Mahasiswa sekelas kakap pun ada yang tidak pernah melakukannya, atau bahkan berpikir sangat teramat jijik untuk sekedar membayangkannya.
Seringkali pula saya melihatnya sedang berbaring di kursi yang sudah tidak menarik untuk dipandang lagi, sambil bertelanjang dada, dan saya pun kembali terheran-heran, betapa sakti orang yang satu ini, disaat saya merasa didinginkan oleh udara malam yang cukup menusuk itu, beliau hanya diam dan sesekali memukuli badannya pertanda darahnya masih layak disedot oleh nyamuk kota ini.
Pekerjaannya mulia, sebagai tukang parkir. Bersenjatakan peluit dan seragam berwarna jingga terang yang mencolok mata, beliau menekuni pekerjaannya, yang mungkin sudah “ratusan” tahun menjadi pekerjaan kesayangannya.
Entahlah, mungkin beliau tidak akan pernah mau bermimpi menjadi “komandan pelat besi” saat ia
muda, mungkin beliau bermimpi menjadi dokter, insinyur, tukang gigi, professor berkacamata tebal, atau prajurit bersenjata laras panjang di negara tercintanya ini. Tapi nasib berkata lain, menjadi “komandan” inilah yang pada akhirnya menjadi jalan sesuap nasinya.
Mungkin pada masa mudanya ia bertarung habis-habisan dengan para Nippon atau Sinyo Belanda, diterjang ratusan peluru tajam berdesingan di samping kiri kanannya, dan suara granat yang memekakkan telinga. Mungkin saja beliau adalah mata-mata yang dikirim negara ini untuk mencari tahu kelemahan para penjajah, atau mungkin saja beliau adalah sahabat akrab dan tangan kanan dari pejuang yang sekarang fotonya terpampang di dinding sekolahan anak SD, entahlah, sekali lagi saya kurang mengenalnya.
Pertama menemuinya, perasaan tidak ada yang spesial dari orang ini. Tua, bau asap, bahkan tertawanya pun tidak menampakkan keindahan dunianya. Selingannya cukup kopi, pisang goreng, dan beberapa rokok tipe orang sawahan, asal bisa berasap, bagi dia tidak masalah, cita rasa bukan hal yang utama dari dirinya. Sesekali ia berdiri dengan kaki kecilnya, berjalan ke tengah jalan, dimana ia sangat dihormati di daerah kekuasaannya ini, setidaknya bagi pengguna lahan parkir maksud saya. Tidak ada gurat kekayaan di keningnya, yang ia punya, setidaknya adalah sepeda mini ukuran anak perempuan, kecil, yang tidak lebih bagus dari sepeda jengki saya.
Dengan tiupan nafas dari paru-parunya yang sudah usang, peluit itu bernyanyi keras di telinga. Tangan kekarnya membawa tanda stop “made in himself” sambil diayunkannya, dan siapa sangka, ternyata mulutnya masih mampu berteriak dengan cukup kencang, bersaingan dengan suara mesin yang keras itu.
Lincah, meski di usianya yang mungkin kepala 7 atau 8 itu. Biasanya orang seumurannya hanya bisa duduk di beranda depan, di kursi goyang, ditemani secangkir teh, dan mendengarkan lagu klasik, yang menjadi trend di jaman mudanya. Terkadang pula lagu kesayangan mereka adalah lantunan dari Manthous atau Didi Kempot yang menenangkan hati. Mereka mungkin hanya sedang menunggu stroke yang siap parkir kapan saja di tubuh mereka.
Mungkin asap kendaraan ini menjadi suplemen rahasianya, atau ibaratnya menjadi “jaring dan indra keenam” bagi Spiderman, atau “Cakar Titanium” punya Wolferine. Setidaknya, orang mungkin sudah mati tercekik saat seumuran beliau masih “bergaya” di jalanan kota ini.
Tetap saja yang mengherankan adalah “behind the scene” kehidupannya sehari hari, siapa sangka jagoan jalanan itu punya resep rahasia tersendiri. Dan apa itu? Siapa itu? Atau bagaimana itu? Jawabannya menurut saya hanya ada satu, keluarganya ( entah itu benar keluarganya atau bukan, saya tidak tahu, alias asal tebak).
Anak kecil, mungkin masih SD, dan ibu muda yang sering menebar senyum kepada tetangganya. Beliau sering bercengkrama dengan mereka, dan tertawa melepas kerinduannya, atau melepas penatnya. Sungguh hal yang indah menurut saya. Seperti sepotong surga yang ditempatkan di kota super panas ini.
Yang perlu disadari adalah, bagaimanapun karakternya, darimana asalnya, berapa umurnya, bagaimana asal usulnya, yang terpenting adalah mendapatkan yang terbaik melalui jalan yang terbaik. Tidak peduli sebagai tukang parkir lah, sebagai dokter lah ,atau sebagai arsitek lah, semua itu hanya keberagaman dalam mencari satu tujuan, yaitu hidup yang baik. Sudah jelas kan kalau seandainya beliau tidak menjadi tukang parkir akan menjadi apa? Pemulung, kuli angkut, mafia, ninja, atau penjual narkoba barangkali? Yang jelas tidak akan senikmat kehidupannya sekarang. Sudah pasti beliau jika ditanya ingin lebih baik atau tidak dari pekerjaannya sekarang, jawabannya adalah IYA. Selain itu,alasan keluargalah yang menjadi pelampiasan terbaik tentang rasa lelah, rasa gembira, serta rasa manusia yang lainnya.
Yang penting pula adalah usaha, usaha terbaik yang harus kita lakukan, dan selebihnya soal jadi apa itu kehendakNya, karena apapun yang di “KUN FAYAKUUN” olehNya adalah yang terbaik bagi kita atas usaha kita. Yang terpenting pula adalah jalani apa yang ingin dijalani, rasakan apa yang ingin dirasakan, tulis apa yang ingin ditulis, dan lakukan apa yang ingin kita lakukan.
Dan, pada akhirnya, kehidupan yang baik itulah yang nanti akan kita rasakan. Insyaallah.
( final editing : 20 September 2010 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar